Setidaknya ini adalah pendakian/tracking yang sangat berkesan. Di awali pada pertemuan di SMA pada hari sabtu, 16 Juli 2011 temanku minta diajak naik gunung, karena cuaca sedang cerah dan juga sudah masuk bulan bunga Eidelweis bermekaran aku pun meng-iyakan untuk naik Gunung Merbabu pada hari Selasa. Karena malam itu ada acara di Solo, sore itu pun aku menuju kota Solo sekalian mengambil perlengkapan di Kos (tas carier).
Rencanya pendakian naik malam dan turun pada siang hari, perbekalan pun tidak terlalu banyak hanya : Sandal gunung, Jas hujan (ponco), perapian (korek+minyak tanah/metanol),air minum 1,5 liter (biasanya saya bawa 1 botol akua + 1 botol mizon/teh sosro ), makanan (jelly drink + roti untuk sarapan di atas), senter (minimal 2 untuk cadangan), jaket/flanel. Itu perlengkapan yang biasanya saya bawa, sebenarnya memakai tas daypack pun sudah cukup, akan tetapi perlengkapan tambahan berupa Kamera DSLR + Tripod memaksa saya menggunaka tas carier.
Senin ternyata temanku ada acara sehingga tidak jadi ikut naik gunung. Karena perlengkapan sudah siap sangat tanggun jika tidak jadi naik maka saya putuskan untuk naik sendiri. Selasa siang aku berangkat dari rumah, dalam perjalanan membayangkan malam harinya berjalan sendirian di tengah hutan, lumayan menakutkan juga tapi kalau tidak dicoba hanya bisa membayangkan saja.
Saya memilih rute dari JOGJA-MAGELANG-KETEP-SELO. Baru pertama juga lewat jalur itu sehingga cemas kalau nantinya tersesat. Eh…ternyata tersesat juga padahal sudah tanya sebelumnya pada teman di magelang. Aku melaju terlalu kencang sehingga keblandang kira-kira 2 km di jalan Magelang. Setelah lama perjalan naik turun mata terasa sakit sekali, di tengah perjalanan menuju Selo aku terpaksa melepas kacamata.
Hari sudah menjelang sore dan pemandangan merapi pun nampak lumayan, bergegas saya menepikan laju kendaraan dan membongkar isi tas untuk mengambil kamera dan tripod. Perjalanan berlanjut dengan pandangan sedikit kabur, setiba di Selo aku langsung menuju kantor Polsek untuk melapor pendakian dan sarapan soto Ayam. Tak lupa saya menanyakan pendakian yang sedang berlangsung, akan tetapi tidak ada laporan pendakian di Polsek tersebut. Positif saja, aku menduga banyak pendaki yang tidak melapor. Benar saja begitu sampai basecamp pendakian, aku melihat banyak pendaki (mapala dari Jogja). Karena sudah magrib saya kira mereka mau naik pada malam harinya, ternyata mereka dari pendakian, turunnya kesorean dan berencana malam harinya pulang.
Pikiran pun semakin memikirkan hal yang aneh-aneh, aku segera bilang pada penjaga di basecamp kalau malam ini akan naik. Setelah itu aku membongkar semua isi tas carier untuk cek-list perlengkapan kemudian beristirahat dan men-set alarm pada pukul 23.30 wib. Terbangun suara alarm yang memsingkan telinga aku segera berkemas-kemas mengeluarkan 3 senter untuk cek kembali. Hawa malam itu sangat dingin sekali, basecamp sudah sepi dan terdengar dengkuran dari penjaga basecamp di ruang sebelah. Aku mengetuk pintu beberapa kali dan tidak ada jawaban sama sekali, meihat jam tangan sudah hampr jam 12 malam dan ketukkan pintu tak mampu membangunkan.
Aku cek pintu keluar basecamp teryata tidak dikunci, ketika kubuka ternyata kabut tebal sedang turun, suara kemrotok air turun seperti hujan. Sembribit angin seperti menyapa-nyapa, ya sudah aku berangkat tanpa restu dari basecamap. Sekitar pukul 00.00 aku memulai pendakian, memasuki hutan yang sangat gelap aku berjalan di jalan setapak.
Suara-suara angin dan kumbang membuatku merinding dan sesekali terlintas kalau tiba-tiba ada setan menghampiri….matilah aku… Tiba-iba kemrotok air kabut membuatku merinding. Kira-kira 15 menit dari basecamp aku sudah jalan melipir di tepi jurang dan ketika selesai tanjakan…Badala tenan…. senter saya tepat menyinari wajah seorang kakek-kakek yang sedang nyengir di tepi jalan. Sontak saya kaget dan seluruh tubuh langsung merinding. Kakek-kakek itu memakai peci, batik coklat lengan panjang dan memakai celana hitam, dia duduk dan membawa cangkul. Karena sudah terlanjur aku menyapa kakek itu, kira-kira perbincangannya seperti ini :
A : mbah..njenangan nopo teng mriki? (dengan nafas terengah-engah, aku kemudian menjabat tangannya)
B : iki bar mbenak’ke dalan
A : lha kewengen nopo pripun? Niki kulo ajeng munggah lha mboten wonten rencange
B : Monggo sing ati-ati
A : lha mboten mbeto senter nopo?
B : (simbahnya ngomong tapi tidak aku dengarkan, sebenarnya di dalam tas ada 2 senter cadangan tapi kalau pas tak ambil simbahnya sudah ilang matilah aku…)
Dan setelah lama bercakap-cakap aku pamitan
A : Nggih pun mbah kulo ajeng minggah..
B : &t*^(^*^(^^%*^%
Aku melanjautkan perjalanan dengan tubuh merinding dan tak jauh dati tempat itu terlihat sebuah papan penunjuk jalan baru dan juga tulisan-tulisan (kata-kata bijak dan Al-quran) membuat kemrindingan menghilang. Selama perjalanan aku menemukan banyak penunjuk jalan yang baru dan pikiran saya mungkin simbahnya tadi mbenahin papan-papan ini.
Sampai di batu tulis jalannya menanjak dan ada dua jalur (kanan-kiri) aku mengingat-ingat jalur yang ada in-memoriamnya. Aku melewati jalur kiri (menghindari in-memoriam, sampai sabana I (Pos IV) sekitar pukul 03.30 dan bertemu dengan pendaki (mau turun) sedang bikin api unggun, setelah salam sapa aku mencari perlindungan untuk menanti Sunrise. Tempat itu lumayan hangat untuk berlindung, di tambah ditempat itu terdapat ladang Eidelweis yang bermekarans.
Pendakian pagi hari aku lanjutkan dengan pendomenasian (memotret dengan tripod), mendapat pemandangan cerah dan bertemu pendaki dari jalur lain. Pertemuan tidak lama karena mereka langsung turun sehingga saya menikmati puncak (Kenteng Songo) dan puncak sebelahnya sendirian hingga kabut turun.
Saat turun gunung, tak jauh dari puncak aku bertemu sekeluarga yang mau mencari tanaman obat. Begitu bapakya tahu saya naik sendirian, wajahnya nampak terheran-heran (agak pucat) dan berpesan untuk berhati-hati di jalan sampai rumah. Saat itu aku ketakutan karena mereka membawa anjing yang terus mengonggong-nggonggong.
Setelah perjalanan keluar hutan (rumah samping basecamp) saya bertemu nenek-nenek dan ketika tahu kalau aku naik sendirian, nenek itu bilang “ati-ati nang ndalan…mugo-mugo slamet tekan ngomah” dan dia berkata berulang-ulang. Sedikit merinding karena nenek itu terus berkata-kata padahal saya sudah berjalan ke basecamp.
Sampai di basecamp, ibu yang masak di basecamp mengucap “alhamdulillah mas ora kenek opo-opo” dia bercerita kalau dia terbangun di waktu subuh dan kaget melihat aku sudah tidak ada, dikiranya tidak jadi naik. Aku minta maaf karena tidak ijin, lha mau gimana lagi dibangunin tidak bisa. Ibunya menjelaskan kalau misalnya semalam ijin malah tidak diperbolehkan naik, katanya kalau naik sendirian akan ada apa-apa . waduh…tubuh saya merinding lagi…ditambah ibunya bilang “ngati-ati nang dalan ya mas kalo balik”….
Saat perjalanan pulang memang aku berhati-hati karena tidak memakai kacamata, dikarenakan ketika di gunung aku pakai dan mata malah sakit sekali. Sampai rumah ganti hari saya periksa ke optic ternyata minusnya berkurang 0.25. Alhamdulillah….mungkin kalau 4 kali naik mata ini jadi normal lagi…wekkekekeke….Tapi nggaklah…sudah cukup sekali saja. Sudah jadi pengalaman yang diingat seumur hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar